Rabu, 14 Maret 2012

Menemukan Kembali Ruh Pergerakan Mahasiswa #1

Bismillah...

Mahasiswa.
"Kenapa ada kata maha di depan siswa?". Pertanyaan itu, yang biasanya ditanyakan waktu ospek, sampai detik ini belum bisa aku jawab. Mengapa harus ada embel-embel maha disitu? Huphf, mungkin harus bertanya pada ahli bahasa untuk mendapat jawabnya.

Tetapi, setelah dipikir-pikir, bertanya pada ahli bahasa bukan solusi dari masalah ini. Secara gramatikal kita memang bisa mendapatkan jawabnya, tetapi secara semantik? Tidak. Seperti halnya segala hal yang ada di dunia ini, peletakan kata maha sebelum siswa yang menjadi kata ganti bagi manusia-manusia yang bersekolah di perguruan tinggi, pasti memiliki maksud dan semangat tersendiri. Semangat itulah yang ditanyakan.

Hmm, berbicara mengenai semangat, 4 minggu yang lalu aku sempat maen ke desa Tarumajaya, Bandung Selatan. Di desa itu aku bertemu dengan 2 orang hebat yang sangat luar biasa bersemangat. Keduanya adalah aktivis mahasiswa di masanya masing-masing. Beliau berdua adalah pak Deden, dan Pak Haji(nbegitulah pak deden memanggil beliau). Pak Deden adalah aktivis mahasiswa yang berperan dalam penurunan Soeharto, tahun 1998. Sedangkan pak Haji, beliau adalah aktivis mahasiswa yang berperan dalam penurunan Soekarno, tahun 1966-1967.

Dari perbincangan dengan beliau berdua, satu hal yang sangat berkesan bagi saya, cerita pak Haji mengenai demo yang beliau ikuti di jalan ir H Juanda tahun 1966. Waktu itu presiden yang berkuasa adalah ir Soekarno. Mahasiswa berfikir bahwa pemerintahan waktu itu sudah tidak mendengar lagi suara rakyat. Pak Haji bersama dengan teman-teman seperjuangan waktu itu merancang sebuah demo yang akan dilaksanakan di bandung. Singkat cerita, berkumpulah mahasiswa-mahasiswa se Bandung Raya di jalan ir. H Juanda. Jalanan dari mulai simpang dago hingga mendekati kantor walikota bandung dipenuhi oleh ribuan mahasiswa.

Seluruh mahasiswa waktu itu diam tanpa suara sama sekali. Jalanan yang setiap harinya ramai, tiba-tiba sunyi senyap tak ada suara. Warga sekitar, yang bingung dengan kesunyian yang terjadi, mulai mendekat ke kerumunan mahasiswa yang diam. Satu per satu warga mendekat dan berkumpul dengan mahasiswa, ikut terdiam. Suasana sunyi itu mulai berubah menjadi keharuan yang luar biasa. Mahasiswa dan warga yang ikut berkumpul mulai menitikkan air mata dalam kesunyian itu. Perlahan-lahan suara tangisan mulai terdengar. Iya, suara tangisan mahasiswa dan warga yang terharu dengan suasana sunyi itu. Suara tangisan itu semakin lama semakin kencang, seiring dengan bertambahnya massa yang ikut meneteskan air mata. Hari itu, mahasiswa dan rakyat berkumpul! Mahasiswa dan rakyat berkumpul, menangis, dan saling menenangkan satu sama lain.

Entah apa yang membuat mahasiswa dan warga waktu itu menangis. Tidak ada darah yang tertumpah, tidak ada massa yang dianiaya, hanya diam, dan sunyi yang ada. Aku tidak tahu dengan pasti apa yang menjadikan mahasiswa dan rakyat menangis waktu itu. Aku tidak tahu dengan pasti, tapi aku bisa merasakannya. Saat ini, saat aku membayangkan peristiwa itu terjadi dihadapanku, saat kesunyian menyesakkan dada, saat harapan yang pupus tertulis di papan-papan unjuk rasa, saat rakyat mulai menyatu dengan mahasiswa, aku merasakan keharuan itu. Air mata pun mulai menerobos keluar dari sudut mata.

.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar